Nuralim

Ketika saya dipercaya untuk memimpin divisi Product & Technology Development, tantangan utama adalah membangun struktur organisasi yang solid dan scalable untuk mendukung pertumbuhan perusahaan. Dalam kuartal pertama, saya fokus pada recruitment strategy yang tepat—mengidentifikasi kompetensi kunci yang dibutuhkan, mendesain proses interview yang efektif, dan membangun employer branding untuk menarik talenta terbaik. Hasilnya, tim teknologi berkembang pesat dari beberapa engineer menjadi organisasi lengkap dengan 20+ profesional di berbagai fungsi: Backend, Frontend, Mobile, dan QA. Tidak hanya menambah headcount, saya juga membentuk research team khusus yang bertugas melakukan continuous improvement terhadap arsitektur dan framework internal—memastikan keputusan teknis kami berbasis data dan eksperimen, bukan asumsi. Namun, membangun tim yang besar tanpa kultur yang kuat adalah resep bencana. Saya menyadari bahwa skill dan headcount saja tidak cukup—yang lebih penting adalah membangun lingkungan kerja di mana setiap engineer merasa valued, challenged, dan continuously growing. Saya memulai dengan menetapkan engineering values yang jelas: ownership mindset, collaborative spirit, continuous learning, dan bias for action. Kami rutin mengadakan knowledge sharing session di mana setiap engineer, dari junior hingga senior, punya kesempatan untuk berbagi expertise mereka—menciptakan kultur belajar yang organik dan saling menghormati. Saya juga memperkenalkan konsep 'blameless postmortem' ketika ada incident atau bug kritis, fokus pada system improvement bukan mencari kambing hitam. Hasilnya? Psychological safety meningkat drastis, tim tidak takut eksperimen dan mengambil calculated risk, dan turnover rate turun signifikan karena engineer merasa engaged dan berkembang. Melalui implementasi standardisasi workflow, automation pipeline CI/CD, dan penguatan quality gates, kami berhasil memangkas time-to-market secara signifikan. Tim kini tidak lagi terjebak dalam ritual release yang melelahkan, melainkan fokus menciptakan nilai bisnis yang terukur dan berkelanjutan—semua ini dijalankan dalam kultur engineering excellence yang kami bangun bersama.

Sebagai Product Development Lead, saya memimpin tim yang terdiri dari 8+ engineer dalam membangun solusi digital insurance yang kompleks. Tantangan terbesar adalah menciptakan ritme kerja yang sehat dan produktif. Saya mengadopsi metodologi SCRUM secara penuh—bukan hanya ceremonial, tetapi benar-benar internalisasi nilai-nilai Agile. Backlog dikelola berdasarkan prioritas bisnis, sprint dijalankan dengan terukur, dan retrospective menjadi ruang pembelajaran yang jujur. Hasilnya? Produktivitas tim meningkat 40%, kolaborasi semakin cair, dan prediktabilitas delivery jauh lebih baik. Puncaknya adalah peluncuran aplikasi mobile 'My Zurich Advisor' yang berhasil dirilis di platform Android dan iOS—dari konsep hingga produksi, kami jalankan dengan disiplin teknis tinggi dan kepekaan terhadap kebutuhan user yang kuat.

Di posisi ini, saya berperan sebagai penjaga fondasi sistem—memastikan setiap line of code yang ditulis adalah investasi jangka panjang, bukan technical debt. Dengan menerapkan prinsip clean architecture dan clean code secara konsisten, saya membangun RESTful API untuk platform 'Agent AID' yang tidak hanya powerful, tetapi juga maintainable dan secure. API ini menjadi tulang punggung operasional bagi lebih dari 1000+ agen asuransi yang mengandalkan sistem kami setiap hari. Implementasi JWT authentication dan role-based access control (RBAC) memastikan setiap request memiliki identitas yang terverifikasi dan permission yang jelas—sehingga sistem dapat scale dengan aman tanpa kompromi terhadap security. Keputusan arsitektur yang tepat di fase ini membuat sistem tetap stabil dan operasional berjalan tenang, bahkan saat traffic meningkat drastis.

Saya bertanggung jawab membangun mobile experience pertama untuk platform 'Agent AID' menggunakan React Native—memastikan aplikasi tidak hanya berfungsi, tetapi juga memberikan user experience yang responsif dan intuitif. Untuk mengelola kompleksitas state management, saya mengimplementasikan Redux dengan arsitektur yang terstruktur, membuat alur data menjadi predictable dan mudah di-debug. Integrasi API menggunakan Axios dirancang dengan clean separation of concerns, sehingga komunikasi antara frontend dan backend tetap maintainable. Yang tidak kalah penting, saya membangun budaya quality assurance sejak awal dengan setup unit testing menggunakan Jest, mencapai code coverage di atas 80%. Dengan fondasi testing yang kuat ini, aplikasi melangkah ke production dengan confidence level yang tinggi—bug minimal, refactoring aman, dan development velocity tetap terjaga.

Ini adalah pengalaman pertama saya membangun solusi untuk lingkungan retail yang menuntut reliability tinggi—bahkan ketika koneksi internet tidak stabil. Saya mengembangkan aplikasi Android native menggunakan Java untuk sistem Point of Sale (POS) yang harus beroperasi tanpa gangguan di berbagai kondisi. Kunci dari solusi ini adalah pendekatan offline-first architecture dengan SQLite sebagai local database, memastikan setiap transaksi tetap tercatat dan dapat disinkronisasi otomatis begitu koneksi tersedia kembali. Tidak hanya backend logic, saya juga mengintegrasikan aplikasi dengan payment gateway untuk proses pembayaran yang seamless, serta printer thermal untuk mencetak struk secara real-time. Hasilnya adalah aplikasi POS yang tidak hanya menjadi interface, tetapi menjadi pusat operasional di meja kasir—robust, cepat, dan dapat diandalkan dalam setiap transaksi.